Minggu, 18 November 2012

Kapitalism Reality

Kapitalisme Sedang Menggali Kuburnya Sendiri


Kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang, secara inheren, selalu tertelungkup di dalam krisis. Ia dikendalikan oleh kekuatan yang menyebabkannya tidak stabil, anarkis, dan seringkali melukai dirinya sendiri. Jadi benar apa yang telah dikatakan oleh Marx—bersama Engels—sekitar lebih dari 150 tahun yang lalu dalam Manifesto Komunis, yang mana kapitalisme ia gambarkan sebagai kekuatan “yang telah menjelmakan alat-alat produksi serta alat-alat pertukaran yang begitu raksasa, ... seperti tukang sihir yang tidak dapat mengontrol lagi tenaga-tenaga dari alam gaib yang telah dipanggil olehnya dengan mantra-mantranya.”

Pernyataan Marxis di atas sungguh benar dan tak terbantahkan. Fakta-fakta hari ini telah memberi penegasan akan ketepatan analisa Marx tersebut, bahwa kapitalisme telah tiba di jalan buntu. Ia telah menumpuk kontradiksi-kontradiksi selama berpuluh-puluh tahun. Krisis sekarang ini adalah sebuah manifestasi pemberontakan kekuatan produksi atas belenggu sistem kapitalis.

Tak ayal lagi, dengan begitu, kapitalisme akan meledak dan jatuh berantakan. Pengangguran massal jangka panjang akan menjadi fenomena kusut yang tak terelakkan. Akan—dan bahkan sudah—terjadi penyelewengan kekuasaan dalam skandal korporasi. Ini bukan asumsi kasar yang tanpa dasar. Karena, faktanya, telah terjadi tren menurun dari kerja-kerja kapital di negara-negara kapitalis besar. Bahkan, Amerika Se-rikat, yang selama ini dielu-elukan sebagai “sarangnya orang-orang pintar dan teoritikus-teoritikus kapitalis”, tengah mengalami kebangkrutan, tidak mampu membayar utang publik sebesar 14,3 trilyun dolar AS pada Agustus 2011 ketika administrasi Obama pada menit-menit terakhir membuat perjanjian baru untuk menaikkan limit utang mereka. Bersamaan dengan itu pula, lebih dari dua juta rakyat AS tidak mendapat layanan asu-ransi kesehatan Ini sekaligus mengingatkan kita pada paceklik yang pernah melanda sekitar 1,5 juta warga AS pada tahun 2002.

Bagi Marx, eksistensi yang timpang dan miskin saja bukanlah penyebab dari perlawanan buruh terhadap sistem kapitalis. Problem ‘timpang’ dan ‘miskin’ seperti ini sudah menjadi bagian dalam keseharian buruh yang sedang bekerja untuk kepentingan akumulasi modal kapitalis. Dampak besar bagi masyarakat buruh, secara ideologis maupun sosial, adalah ketidakamanan, ketidakstabilan dan perubahan-perubahan ekstrim yang merupakan konsekuensi dari krisis kapitalisme. Dalam Kapital I, Marx menulis:

“Karakter sosial yang inheren dalam bentuknya yang kapitalistik [dalam kapitalisme], menghalau seluruh kepastian dan keamanan dalam situasi buruh; betapa ini akan terus mengancam, dengan menguasai alat-alat kerja, merebut dari tangannya sarana subsistensinya, dan ... membuatnya tak berguna. Kita telah melihat juga, bagaimana antagonisme [kelas] ini melubangi kemarahannya ... dengan korban manusia yang terus berjatuhan dari kalangan kelas buruh ... mengubah setiap progres ekonomi menjadi bencana sosial.” (Capital I)

Pendek kata, krisis dalam kapitalisme berarti bahwa sesungguhnya sistem ini samasekali tidak mampu menjamin kelangsungan hidup kelas buruh, bahkan terhadap remah-remah yang dilemparkan olehnya kepada kelas buruh.

Krisis kapitalis juga berdampak besar bagi ‘kedamaian’ kaum kapitalis. Mereka memecah—apa yang disebut oleh Marx sebagai—“operasi persaudaraan kelas kapitalis” dan memunculkan pertarungan habis-habisan di antara mereka sendiri agar masing-masing dari mereka bisa tetap bertahan dari kebangkrutan. Oleh sebab itu, krisis ekonomi, bahkan dalam skala yang relatif kecil, bisa membawa pada kebingungan ideologis dan ketidakstabilan politik di antara kelas yang berkuasa; sebuah proses intensifikasi dari perang dan perjuangan kelas. Dalam Kerja-Upahan dan Kapital Marx berpendapat bahwa krisis “membawa kehancuran paling mengerikan di dalam gerbong kereta mereka dan, seperti gempabumi, akan menyebabkan pondasi-pondasi masyarakat borjuis terguncang. Dengan demikian, dampak dari guncangan krisis kapitalis adalah terbentuknya kemungkinan akan terjadinya perubahan revolusioner; bukan sebagai jaminan, tetapi sebagai ‘kemungkinan-niscaya’ di tangan kelas buruh.

Lenin, seorang Marxis Rusia, sebagai pemimpin Revolusi Oktober 1917, pernah menulis, bahwa penindasan saja, tidak peduli sehebat apa, tidak selalu membangkitkan situsasi revolusioner dalam suatu negara. Dalam sebagian besar kasus, hal seperti ini tidak cukup untuk menggerakkan revolusi meskipun masyarakat kelas bawah sudah tidak betah hidup dengan cara yang lama. Situasi seperti ini harus ditindaklanjuti dengan adanya krisis ekonomi; bersama itu pula, harus terjadi polarisasi, konflik-konflik dan ketidakstabilan.

Lebih jauh, hal di atas, kemudian, bermakna baru: terjadinya krisis akut dalam kapitalisme sekarang, mengandaikan bahwa perubahan revolusioner tidak hanya ‘mungkin’, tetapi ‘harus’ dan ‘perlu’. Seperti pernah disampikan oleh Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis, perjuangan kelas, secara historis, adalah “perjuangan yang tiada putus-putusnya, ... suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan kembali masyarakat ... atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan.” Bahwa, faktanya sekarang, apa yang sedang terjadi, kapitalisme seperti akan membawa pada “kehancuran bersama”, karena melibatkan semua komponen. Sebuah kehancuran yang paling ditakutkan, digambarkan oleh Marx, yang akan menghasilkan kemiskinan, kelaparan, kerusakan lingkungan dan perang yang terus meningkat sejak kelahirannya. Oleh karena ini juga, Marx dan Engels mengatakan bahwa sifat krisis dari kapitalisme telah menciptakan keharusan akan sosialisme, tidak hanya untuk menghapus kemiskinan dan ketimpangan, tetapi juga untuk menyingkirkan bencana ekonomi dan sosial yang endemik dalam sistem kapitalisme.

Di sinilah, kemudian, tesis Marxis mengenai kapitalisme sebagai penggali kuburnya sendiri; mengenai krisis sebagai sifat yang inheren di dalam kapitalisme, mendapati afirmasi ilmiahnya. Marxisme bukanlah ungkapan-ungkapan omongkosong. Marxisme mampu menjelaskan sebab-sebab krisis dari kapitalisme dan bagaimana kelas buruh harus merebut kekuasaan politik dari tangan kapitalis.

Di buku tersohornya, Capital, Marx “menelanjangi hukum gerak ekonomi masyarakat modern [masyarakat kapitalis]” (Capital I). Seorang ahli ekonomi terkenal di abad 18, Adam Smith, berpendapat bahwa kapitalisme dan pasar bebas berasal dari suatu “kecenderungan yang ada di dalam sifat manusia ... untuk memindahkan, menukarkan, memperdagangkan barang yang satu kepada yang lain.” Ahli ekonomi yang lain, Lionel Robbins, menyatakan bahwa kapitalisme mencakup “serangkaian dari saling-ketergantungan ... relasi-relasi antara manusia dan barang-barang ekonomik.” Ini berkebalikan dengan apa yang dikatakan oleh Marx dalam bahwa “hubungan antara kerja-upahan dengan kapital menentukan keseluruhan karakter dari modus produksi kapitalis.” (Capital III) Marx melampaui studi yang hanya mengenai proses pertukaran—yakni mengenai pembelian dan penjualan—yang menyembunyikan apa yang sedang terjadi di balik yang tampak. Sebagaimana Marx katakan dalam The Grundrisse, “seorang buruh yang membeli sebungkal roti dan seorang milyuner yang melakukan hal sama nampak, dalam aksinya, seperti sebagai pembeli biasa, ... sang pemilik toko makanan hanya nampak sebagai penjual. Seluruh aspek yang lain di sini dimatikan.” Dengan memfokuskan hanya pada aturan dan mekanisme pertukaran, para ahli ekonomi borjuis akan mengklaim bahwa seluruh partisipasi setara dari setiap orang dalam ekonomi kapitalis, entah itu orang kaya atau miskin, memiliki hak yang sama untuk membeli roti atau kapal pesiar dengan harga tertentu. Akan tetapi, dengan menganalisa di dalam ranah produksi - “relasi antara kerja-upahan dan kapital” - Marx mampu mengekspos kontradiksi kelas di dalam sistem tersebut yang dilupakan oleh para ahli ekonomi kapitalis.

Para ahli ekonomi borjuis juga memandang relasi kapitalis sebagai tataan alami yang lahir dari “kecenderungan sifat manusia,” sebagaimana yang telah diklaim oleh Adam Smith. Sebagai hasilnya, bagi mereka, “pasar-dunia, penghubung-penghubungnya, gerakan-gerakan harga-pasar, periode-periode kredit, siklus-siklus industrial dan perdagangan, pergantian kejayaan dan krisis, menjelma ... seperti sedang menganugerahkan hukum alam yang tak terkendali yang memaksakan keiinginannya atas mereka dan berhadapan dengan mereka sebagai keharusan yang memaksa.” (Capital III) Selanjutnya Marx mengatakan bahwa “proses produksi kapitalis secara historis menentukan bentuk dari proses produksi sosial secara umum.” (Capital III) Marx mencoba menganalisis kapitalisme dan pasar secara historis, bukan sebagai produk statis dari “hukum alam”, tetapi sebagai sistem dinamis yang, seperti masyarakat-masyarakat lain, terbentuk dalam suatu tahapan tertentu di dalam sejarah manusia, dan perlahan digerogoti oleh kontradiksi-kontradiksi internalnya sendiri.

Jantung dari seluruh masyarakat manusia, menurut Marx, adalah produksi: yakni produksi barang-barang yang dibutuhkan untuk mempertahankan eksistensi masyarakat tersebut. Di dalam masyarakat kelas, elemen kuncinya adalah bahwa suatu kelas di dalam masyarakat mengambil produk kerja dari kelas yang lain untuk dirinya sendiri. Di bawah feodalisme, misalnya, para tuan mengambil hasil kerja ‘sang hamba’. Para hamba akan menghabiskan sebagian dari kerja seminggunya untuk memproduksi barang-barang bagi dirinya, dan sebagiannya lagi digunakan untuk memproduksi barang-barang bagi tuannya. Para hamba akan memproduksi lebih dari yang dikonsumsinya, dan lebihnya diberikan kepada para tuan bangsawan. Marx menyebut kerja ekstra ini dengan istilah “surplus labor—atau ‘kerja lebih”, dan ekstraksi dari ‘kerja lebih’ ini disebut eksploitasi.

Di bawah kapitalisme, dua yang saling berhadap-hadapan bukan lagi tuan dan hamba, tetapi kelas kapitalis dan kelas buruh—dengan corak eksploitasi yang lebih halus, meskipun berdampak lebih besar, dibanding dengan di jaman feodal. Elemen sentral dari analisis Marx mengenai kapitalisme adalah bagaimana kapitalis bisa memperoleh ‘kerja-lebih’ dari buruh. (Mengenai hal ini, saya akan mengulasnya di waktu yang lain).

Krisis kapitalisme yang sekarang tengah melanda Eropa, Amerika, dan di benua lain termasuk Asia dan Afrika, telah membuktikan bahwa kapitalisme tidak mampu membuang tungkup krisisnya—bahkan semenjak kelahirannya. Sungguh, janji-janji yang dilontarkan oleh para ideolog kapitalis telah mengecewakan milyaran rakyat yang berada di seluruh penjuru dunia. Pertanyaannya, dengan melihat kondisi obyektif dari kapitalisme yang sudah sedemikian parah, apakah kelas buruh, sebagai elemen paling progresif, bisa segera merapatkan barisan dan mengkonsolidasi diri guna mempersiapkan perebutan atas alat-alat produksi dari tangan kapitalis; atau sebaliknya, menunggu kehancuran kapitalisme seturut dengan alur sejarah?

Jika kelas buruh menerima konsekuensi-konsekuensi dari tiap-tiap krisis, maka sistem kapitalis akan tetap bertahan hingga ia memproduksi “keruntuhan bersama”. Bila demikian, sebuah revolusi akan terjadi semata-mata tergantung pada arah gerak sejarah. Tetapi, jika tidak mau disebut ‘salah’, ini adalah perspektif yang naif dan malas. Meskipun karena kontradiksi internalnya kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya, bukan berarti dengan serta-merta—bahkan mungkin tidak samasekali—kelas buruh akan merebut kekuasaan ekonomi-politik dari tangan kelas kapitalis. Leon Trotsky, dalam Revolusi Permanen mengatakan:

“...Kekuasaan akan beralih ke tangan kelas buruh tergantung bukan secara langsung pada level kekuatan produksi, tetapi tergantung pada relasi kekuatan-kekuatan sosial di dalam perjuangan kelas, pada situasi internasional, dan pada akhirnya, tergantung pada beberapa faktor subjektif: tradisi, inisiatif, dan kesiapan kelas pekerja untuk berjuang.”

Itu artinya, meskipun kapitalisme sekarang tengah menggali kuburnya sendiri, ia belum benar-benar mati. Kematian kapitalisme akan bersifat permanen ketika kelas buruh mampu merebut kekuasaan ekonomi-politik yang ada di tangannya. Kelas buruh harus segera menghancurkan dan mengganti sistem kapitalis yang selalu dirundung krisis ini dengan sosialisme. Karena jika tidak, sebagaimana kata Marx, maka pilihannya adalah barbarisme.

http://www.militanindonesia.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar