Good Governance
“ Refleksi Menuju Pemerintahan
Indonesia yang bersih dan bebas KKN ”.
Oleh
: Alfian Maulana
Good
Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara
politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan
legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha.
Good
governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses
pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara
bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara,
dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara.
Good Governance di Indonesia sendiri mulai benar –
benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era
tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses
demokrasi yang bersih sehingga Good Governancemerupakan salah satu alat
Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika
dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 15 tahun ini,
penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil
sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak
ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi
yang merupakan dua produk utama Good Governance.
Kunci
utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di
dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja
suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah
bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari
pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu
sebagaimana tertera di bawah ini:
1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam
pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga
perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat,
serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa
pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi
manusia.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi
yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu
dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia
harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan
harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani
kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus
menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan
bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan
memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga
membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan
sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor
swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada
masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk
pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis
organisasi yang bersangkutan.
9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif
yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan
manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan
perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas
kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif
tersebut.
Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai
dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu
pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui
penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan
publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance.
Pelayanan
publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari
unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil
dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja
pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi bahwa
pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di
Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh
stakeholders, yaitu pemerintah , warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan
publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan interaksi yang
sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good
governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik
Fenomena
pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan,
misalnya prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga
yang menyebabkan pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh
masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi
pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif
untuk mendapatkan pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya
tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga
tentang cara pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan
martabatnya sebagai warga Negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang
membutuhkan bantuan pejabat birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan
birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang
berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih
mengarah kepada budaya kekuasaan.
Upaya
untuk menghubungkan tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik
barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep
good-governance (tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep public service
(pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya publik dengan
sebaik-baiknya. Argumentasi lain yang membuktikan betapa pentingnya pelayanan
publik ialah keterkaitannya dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah yang
tampaknya harus dilihat secara jernih karena di negara-negara berkembang
kesadaran para birokrat untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada
masyarakat masih sangat rendah.
Secara garis besar, permasalahan penerapan Good
Governance meliputi :
1. Reformasi birokrasi belum berjalan sesuai
dengan tuntutan masyarakat;
2. Tingginya kompleksitas permasalahan dalam
mencari solusi perbaikan;
3. Masih tingginya tingkat penyalahgunaan
wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja
aparatur;
4. Makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi
masyarakat dalam kebijakan publik;
5. Meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip
tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan
kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;
6. Meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung
jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan dalam era desentralisasi;
7. Rendahnya kinerja sumberdaya manusia dan
kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan
(manajemen) pemerintahan daerah yang belum memadai;
Pemerintah yang Bersih
Kemidian
selanjutnya mengenai Kepemerintahan yang bersih Secara sederhana pemerintahan
yang bersih dapat dijelaskan sebagai kondisi pemerintahan yang para pelakunya
yang terlibat di dalamnya menjaga diri dari perbuatan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN).
Korupsi adalah perbuatan pejabat
pemerintah yang menggunakan uang pemerintah dengan cara-cara yang tidak legal.
Kolusi adalah bentuk kerjasama antara pejabat pemerintah dengan oknum lainya
secara ilegal pula ( melanggar hukum) untuk mendapatkan keuntungan material
bagi mereka. Nepotisme adalah
pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau penghasilan, bagi
sanak dan keluarganya atau kerabat dekat pejabat, sehingga menutup kesempatan
bagi orang lain. Pemerintah yang penuh dengan gejala KKN biasanya tergolong ke
dalam pemerintah yang tidak bersihk, dan demikian pula sebaliknya.
Sejak indonesia memasuki era
transisi menuju demokrasi tahun 1999, citra negeri ini di dunia internasional
teris terpuruk. Antara tahun 1999 hingga 2003. Indonesia di kenal sebagai
negara dekat dengan tingkat korupsi yang sangat buruk, bahkan paling parah di
seluruh Asia. Agar pemerintah bebas dari rongrongan KKN, maka para pejabat
pemerintah dan politisi, baik di eksekutif, birokrasi, maupun badan legeslatif,
pusat maupun daerah, hendaknya mengindahkan nilai-nilai moralitas. Adapun
sikap-sikap moral tersebut adalah kejujuran terhadap diri sendiri dan orang
lain; menjauhkan diri dari tindakan melanggar hukum; kesedian berkorban demi
kemuliaan lembaga dan masyarakatnya’ dan keberanian membawa pesan-pesan moral
dalamm kehidupan sehari-harinya sebagai pejabat dan politisi pemerintah.
Sudah barang tentu, moralitas
politik saja tidak akan cukup untuk menegakkan pemerintah yang bersih dan
pelanggaran moralitas atau etika politik; tetapi diperlukan sebuah sistem
politik dan hukum yang egaliter dan adil untuk menopang kerangka sistemik yakni
menuju masyarakat madani. Pejabat negara / pemerintah menduduki posisi yang
sama dengan rakyat di hadapan hukum. Tidak bisa satu pun pejabat pemerintah
yang kebal ( immune ) terhadap hukum meskipun hukum kita berkiblat ke Eropa
Kontinental tetapi itu sudah cukup melengkapi tatanan hukum di Indonesia.
Dengan sistem hukum yang egaliter dan adil itulah pemerintah yang berwibawa dan
bisa di tegaakkan.
Untuk menegakkan pemerintah yang
bersihg dan berwibawa diperlukan berbagai kondisi dan mekanisme hubungan yang
berpotensi menopang pertubumbuhan moralitas politik, tentunya, budaya demokrasi
pun perlu dikembangkan dalam proses pemerintah di negeri ini, sehingga terwujud
pula pemerintahan yang demokratis.
REFERENSI :
Sedarmayanti,
Good Governance & Good Corporate Governance 3 Edisi Revisi, Mundar Maju;
2012
Pendidikan
Kewerganegaraan. ;LP3 UMY, Diktilitbang PP
Muhammadiyah. 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar