BIROKRASI
DI INDONESIA
MAKALAH
(Disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah Sistem
Politik Indonesia)
OLEH :
KELOMPOK VII
·
2011130015 : Alfian
Maulana
·
2011120006 : Ratna
Wulandari
·
2011117001 : Onie
Irdiyanti
·
2011137203 : Didi Suhardi
·
2011110015 : Sadikin
Tamrin Tabona
·
2011110001 :
Muhammad Nafis
·
2011130020 : Rizal
Mujur
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH JAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberi rakhmat dan ridhonya kepada kami, sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan tugas ini dengan baik dan sebagaimana mestinya.
Shalawat serta salam
semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa ajaran islam dari
zaman jahiliyah ke dalam zaman yang terang benderang ini.
Saya sebagai penulis dapat menyusun
makalah
sistem politik indonesia tentang “BIROKRASI DI INDONESIA”.
Dalam
menyusun makalah ini penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak
Djoni Gunanto, S.IP yang telah memberi bimbingan, bantuan dan
dorongannya.
Penulis menerima saran dan kritik yang
membangun dari teman-teman dan semua pihak yang mengkaji makalah ini.
Semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi yang membaca.
Terimakasih.
Penyusun
Jakarta, 20 Juni 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Jika kita mendengar kata ´Birokrasi´
maka langsung yang ada dalam pikiran kita
adalah bahwasanya kita berhadapan dengan suatu prosedur yang berbelit- belit, dari meja satu ke meja
lainnya, yang ujung-ujungnya adalah biaya yang serba mahal (hight cost).
Pendapat yang demikian tidaklah dapat disalahkan seluruhnya, namun demikian apabila orang-orang yang duduk dibelakang
meja taat pada prosedur dan aturan serta berdisiplin dalam menjalankan
tugasnya, maka birokrasi akan berjalan lancar dan ´biaya tinggi´ akan
dapat dihindarkan. Untuk mengeliminasi pemikiran yang demikian, marilah
kita sejenak mencerna pendapat para ahli mengenai apa sebenarnya yang
dimaksud dengan birokrasi.
BAB II
LANDASAN TEORI
1)
Pengertian Birokrasi :
Birokrasi berasal
dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia”
(cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk
menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh
suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam
konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”.
Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public
administration.
Definisi birokrasi telah tercantum
dalam kamus awal secara sangat konsisten. Kamus akademi Perancis memasukan kata
tersebut pada tahun 1978 dengan arti kekuasaan, pengaruh, dari kepala dan staf
biro pemerintahan. Kamus bahasa Jerman edisi 1813, mendefinisikan birokrasi
sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan
cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga
negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai
kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan.
Birokrasi berdasarkan definisi yang
dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi
yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan
bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja
individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan
dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam
Setiwan,1998).
2) Fungsi
birokrasi menurut Tjokrowinoto menyatakan ada 4 yaitu :
1.
Fungsi
instrumental,yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan public
dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa,pelayanan ,komoditi,atau
mewujudkan situasi tertentu.
2.
Fungsi
politik,yaitu member input berupa saran, informasi, visi ,dan profesionalisme
untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan.
3.
Fungsi
katalis Public Interest,yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan public
dan mengintegrasikan atau menginkorporasikannya di dalam kebijaksanaan dan
keputusan pemerintah
4.
Fungsi Entrepreneural,
yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non rutin,
mengaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan resources
–mix yang optimal untuk mencapai tujuan (Feisal tamin,2002 h,5)[1]
BAB III
PEMBAHASAN TENTANG BIROKRASI.
1) Model
Negara dan Birokrasi Pasca Kolonial.
Model ini diperkenalkan oleh
Anderson (1983). Menurutnya, negara dan birokrasi merupakan kelanjutan dalam
pola-pola tertentu yang berasal dari negara kolonial sebelumnya. Dalam hal
demikian, model ini mirip dengan konsep negara Beamstenstaat (negara pegawai)
versi McVey, yang menunjuk adanya persamaan gaya politik pemerintahan (masa
Orde Baru) dengan gaya pemerintahan kolonial Belanda, terutama pada masa-masa
akhir tahun 1930-an. Keduanya memperlihatkan ciri-ciri yang sama dalam hal
perhatiannya terhadap proses administrasi daripada terhadap proses politik,
keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi. Sehingga negara menjadi mesin
birokrasi yang efisien (the state as efficient bureaucratic machine) Tetapi,
berbeda dengan McVey yang lebih menekankan gejala-gejala di permukaan, Anderson
lebih menukik dengan memberikan penjelasan teoritis tentang kontradiksi yang
tajam antara negara dan bangsa.
Kontradiksi itu terjadi
antara kepentingan-kepentingan negara di satu pihak dengan
kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih populis, partisipatoris, dan
representatif pada pihak lain. Dalam dua kutub kepentingan terbentang spektrum
luas.
Pertama:
kutub kepentingan negara secara penuh mensubordinasikan kepentingan-kepentingan
partisipatoris (seperti pada situasi rezim militeris atau kolonialis).
Kedua: pada kutub
yang lain, keadaan ketika negara mengalami disintegrasi, dan kekuasaan sedang
bergeser kepada organisasi ekstra negara yang berbasis suka rela dan massal,
seperti halnya dalam studi revolusi.
Dalam perspektif modernisasi, model negara pasca
kolonial memiliki dua varian.
Pertama: model ini
seharusnya bersifat netral, mewakili kepentingan umum, dan tidak terkait dengan
kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Karena itu, para pendukungnya,
terutama yang duduk dalam pemerintahan, adalah figur-figur modern yang memiliki
keahlian tertentu, atau dengan kata lain para teknokrat.
Kedua: ketika
harapan-harapan idealistik dalam varian pertama mulai dilaksanakan, tugas utama
negara pasca kolonial dalam mendukung pembangunan nasional adalah menciptakan tertib politik. Stabilitas
suatu negara berfungsi sebagai prasyarat kelangsungan suatu bangsa. Maka,
"modern" atau "tidak modern" suatu bangsa bukan ditentukan
oleh ada tidaknya lembaga, mekanisme,
atau nilai-nilai demokrasi, melainkan
pada kemampuannya menciptakan dan memelihara stabilitas sosial, politik,
dan ekonomi.
2) Birokrasi
Pada Masa Kemerdekaan :
Setelah
memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format pemerintahan
yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan kolonial
membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem
birokrasi pemerintahan. Perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri
bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan,
termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi
bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.Pada masa awal kemerdekaan, Negara
ini mengalami perubahan bentuk Negara, dan ini yang berimplikasi
pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi.Perubahan bentuk Negara dari
kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam
cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan
dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu.Pertama, bagaimana cara
menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan
NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang
memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada
Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau
tidak loyal terhadap NKRI.Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya
kabinet mempengaruhi jalannya kinerja pemerintah. Seringnya terjadi
pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara
politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh
kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik
antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu.Banyak kebijakan
atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik
dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Dalam
memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya
sebagai bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara
menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama, peran seorang presiden
sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik Melihat realitas
birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian.
Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial. Pada masa orde
baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI.
Kedua kekuatan ini telah menciptakankehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu
bisa dilihat adanya hegemonic partysystem diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999).
Sedangkan menurut William Liddle,kekuasaan
orde baru terdiri dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer yang
aktif berpolitik, dan (3) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan yang tepat.
3)
Birokrasi Pada Masa Orde Lama
Birokrasi di Indonesia mengalami sejarah yang cukup
panjang dan beragam, sejak masa kemerdekaan
tahun 1945. Pada masa awal kemerdekaan, ada semacam kesepakatan pendapat bahwa
birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa.
Anggapan ini beralasan karena hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang dapat
menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Semangat kejuangan masih sangat kental
mewarnai birokrasi di Indonesia. Para birokrat masih menggelora semangatnya
untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsanya, sehingga tidak jarang
kelompok mayoritas mau mengalah terhadap minoritas demi kesatuan dan persatuan
bangsa. Semangat primordial untuk sementara dapat dikesampingkan oleh semangat
nasional. Satu-satunya organisasi politik yang bersifat primordial yang
mengancam negara dan bangsa Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mereka melakukan pemberontakan untuk menguasai birokrasi pemerintah dan
sekaligus mengganti pemerintah yang sah. Pada perjalanan masa berikutnya,
birokrasi di Indonesia mulai dihinggapi oleh aspirasi primordial yang kuat.
Birokrasi Pemerintah mulai menjadi incaran dari kekuatan-kekuatan politik yang
ada. Partai-partai politik mulai melirik untuk menguasai birokrasi pemerintah.
Bahkan pada antara tahun 1950-1959, birokrasi pemerintah berada dibawah
kepemimpinan partai politik yang menjadi mayoritas di lembaga DPR. DPR menjadi kuat, tapi sebaliknya lembaga
eksekutif di mana birokrasi sebagai pelaksana politik menjadi semakin lemah.
Hal
demikian diakibatkan oleh parta-partai politik yang berdiri pada waktu itu
sebagai akibat dari adanya Maklumat 3 Nopember 1945 yang memberikan kebebasan
kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Akhirnya partai-partai beramai-ramai ingin
menguasai berbagai
departemen
maupun kementerian, bahkan tidak jarang terjadi jatuh bangunnya Kabinet
pemerintah hanya dikarenakan oleh tidak
meratanya pembagian kementerian yang diinginkan oleh partai-partai. Pada masa
ini pula birokrasi mempunyai loyalitas ganda; satu segi kepada partai politik
yang didukungnya dan pada sisi lain kepada masyarakat yang dilayaninya.
Kemudian
pada masa antara tahun 1960-1965 birokrasi menjadi incaran
kekuatan
politik yang ada. Pada saat itu ada tiga kekuatan politik yangcukup
besar
yaitu, nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) yang berusaha berbagi wilayah
kekuasaan atau kaplinganya pada berbagai Departemen. Di bawah label Demokrasi
Terpimpin, tiga kekuatan politik tersebut membangun akses ke birokrasi
pemerintah. Keadaan sistem politik yang primordial membawa pengaruh kuat
terhadap birokrasi, sehingga birokrasi pemerintah sudah mulai nampak
ke-pemihakannya kepada kekuatan politik yang ada. Lebih tepat dapatdikatakan
bahwa birokrasi saat itu sudah terperangkap ke dalam jaring perangkap yang
dipasang oleh kekuatan politik Nasakom.
Hal ini
dapat dilihat pada saat meletusnya peristiwa G.30 S/PKI kekuatan komunis telah masuk hampir di
seluruh departemen pemerintah, sementara kekuatan nasionalis dan agamahanya
mendominasi sebagian kecil dari departemen-departemen yang ada. Kemudian pada
masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era pemerintahan Soeharto), birokrasi lebih jelas
kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini
Golkar. Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada enam kali
pemilu (sampai 1997) adalah karena peranan birokrasi
yang
cukup kuat. Kesadaran politik di masa awal kemerdekaan yang memandang birokrasi
sebagai alat pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula
pada
masa tersebut. Politik floating-mass (masa mengambang) men-jadikan
birokrasi
dapat menjangkau ke seluruh wilayah pelosok desa-desa di tanah air kita ini.
Hal ini merupakan potensi kemenangan yang diraih Golkar untuk menguasai
birokrasi, apalagi birokrat diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya
(menjadi peserta pemilu) yang pilihannya tidak ada lain kecuali harus memilih
Golkar sehingga dengan demikian birokrasi identik dengan Golkar. Dengan
menggunakan model 3 jalur yang dikenal dengan jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan
keluarga Golkar) semakin jelas mengisyaratkan bahwa birokrasi sudah
terpolitisir oleh satu kekuatan politik tertentu. Mulai dari Presiden, Menteri,
Gubernur dengan segala jajaran di bawahnya duduk di kepengurusan Golkar
menunjukkan
betapa
sulitnya membedakan antara pemerintah (birokrasi) dan politik (Golkar). KORPRI
yang diharapkan menjadi wadah aktivitas
kedinasan seluruh pegawai negeri yang keberadaannya tidak berafiliasi
kepada satu kekuatan politk apapun, namun betapa sulitnya mem-pertahankan
kenetralannya manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya kekuatan sosial
politik yang mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan politik yang lain
hanya berada di luar garis. Angin reformasi mulai bergulir sejak rezim Soeharto
jatuh, dan muncul Habibi menggantikannya. Namun kondisi birokrasi di Indonesia
tidak jauh berubah, karena semua tahu bahwa naiknya Habibi (1998) menggantikan
Soeharto
adalah
didukung sepenuhnya oleh Golkar. Kemudian Habibi digantikan oleh duet Gus
Dur-Mega memunculkan nuansa baru dibidang pemerintahan termasuk birokrasi,
karena pemerintahan Gus Dur disusun atas dasar kompromistis dari hampir semua
kekuatan politik yang ada sehingga memunculkan apa yang kemudian dikenal dengan
Kabinet Persatuan Nasional atau Kabinet Gotong Royong, di mana para menteri
yang duduk di dalamnya terdiri dari unsur partai politik besar yang memperoleh
suara signifikan dalam pemilu 1999. Dari sinilah
kemudian
wacana tentang birokrasi menjadi marak kembali. Salah satu bentuk gerakan
reformasi adalah reformasi di bidang birokrasi.
Reformasi
birokrasi sebagai bagian dari reformasi administrasi, walaupun menyangkut
dimensi yang luas dan komplek namun memiliki tujuan yangjelas yaitu
meningkatkan administrative performance dari birokrasi pemerintah. Agenda kebijakan reformasi birokrasi diarahkan
untuk memperbaiki kinerja administrasi baik secara individu, kelompok maupun
institusi agar dapat mencapai tujuan kerja mereka lebih efektif, lebih
ekonomis, dan lebih cepat. Jelasnya, bahwa pandangan ini lebih spesifik lagi
ditujukan padapenyempurnaan struktur birokrasi dan perubahan perilaku aparatnya menjadi conditio sine qua non bagi upaya peningkatan
kinerja birokasi pemerintah. Siagian (1983) melihat pentingnya arah reformasi
administrasi di Indonesia lebih ditujukan kepada pengembangan
administrativeinfrastructure yang meliputi pengembangan aparat birokrasi,
struktur organisasi, sistem dan prosedur kerja. Sedangkan menurut
Tjokroamidjojo (1985) ketika menganalisis administrasi pembangunan di Indonesia
menegaskan bahwa arah reformasi birokrasi perlu ditujukan ke tujuh wilayah
penyempurnaan administrasi yaitu: penyempurnaan
dalam bidang pembiayaan pembangunan; penyempurnaan dalam bidang
penyusunan program-program pembangunan di berbagai bidang ekonomi dan
non-ekonomi dengan pendekatan integrative (integrative approach); re-orientasi
kepegawaian negeri kearah produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah;
penyempurnaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah; administratif
partisipatif yang mendorong kemampuan dan kegairahan masyarakat; kebijaksanaan
administratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses pembangunan; dan
bersihnya pelaksanaan administrasi negara (good governance).[2]
4)
Birokrasi Pada Masa Orde Baru
Pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era
pemerintahan Soeharto), birokrasi lebih
jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini
Golkar. Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada enam kali
pemilu (sampai 1997) adalah karena peranan birokrasi yang cukup kuat. Kesadaran
politik di masa awal kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai alat
pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut. Politik
floating-mass (masa
mengambang) men-jadikan birokrasi dapat menjangkau ke seluruh wilayah pelosok
desa-desa di tanah air kita ini. Pada masa orde baru tersebut terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi
sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai
instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu.Seperti dalam pandangan
William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif,
merupakan pelaku utama transformasi meski puntidak penuh model pemerintahan
yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi
dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu.
Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada
awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai,tetapi hanya sebagai
golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan
Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.Pada masa orde baru,
pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya, saja dalam pelayanan dan
pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit danmemerlukan waktu yang
lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan- pungutan liar.
Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban dalam perbaikan.
Hal ini
merupakan potensi kemenangan yang diraih Golkar untuk menguasai birokrasi,
apalagi birokrat diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya (menjadi peserta
pemilu) yang pilihannya tidak ada lain kecuali harus memilih Golkar sehingga
dengan demikian birokrasi identik dengan Golkar. Dengan menggunakan model 3
jalur yang dikenal dengan jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan keluarga Golkar)
semakin jelas mengisyaratkan bahwa birokrasi sudah terpolitisir oleh satu
kekuatan politik tertentu. Mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur dengan segala
jajaran di bawahnya duduk di kepengurusan Golkar menunjukkan betapa sulitnya
membedakan antara pemerintah (birokrasi) dan politik (Golkar). KORPRI yang
diharapkan menjadi wadah aktivitas
kedinasan seluruh pegawai negeri yang keberadaannya tidak berafiliasi
kepada satu kekuatan politk apapun, namun betapa sulitnya mem-pertahankan
kenetralannya manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya kekuatan sosial politik
yang mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan politik yang lain hanya
berada di luar garis. Angin reformasi mulai bergulir sejak rezim Soeharto
jatuh, dan muncul Habibi menggantikannya. Namun kondisi birokrasi di Indonesia
tidak jauh berubah, karena semua tahu bahwa naiknya Habibi (1998) menggantikan
Soeharto adalah didukung sepenuhnya oleh Golkar. Kemudian Habibi digantikan
oleh duet Gus Dur-Mega memunculkan nuansa baru dibidang pemerintahan termasuk
birokrasi, karena pemerintahan Gus Dur disusun atas dasar kompromistis dari hampir
semua kekuatan politik yang ada sehingga memunculkan apa yang kemudian dikenal
dengan Kabinet Persatuan Nasional atau Kabinet Gotong Royong, di mana para
menteri yang duduk di dalamnya terdiri dari unsur partai politik besar yang
memperoleh suara signifikan dalam pemilu 1999. Dari sinilah kemudian wacana
tentang birokrasi menjadi marak kembali. Salah satu bentuk gerakan reformasi
adalah reformasi di bidang birokrasi. Reformasi birokrasi sebagai bagian dari
reformasi administrasi, walaupun menyangkut dimensi yang luas dan komplek namun
memiliki tujuan yang jelas yaitu meningkatkan administrative performance dari
birokrasi pemerintah. Agenda kebijakan
reformasi birokrasi diarahkan untuk memperbaiki kinerja administrasi baik
secara individu, kelompok maupun institusi agar dapat mencapai tujuan kerja
mereka lebih efektif, lebih ekonomis, dan lebih cepat. Jelasnya, bahwa
pandangan ini lebih spesifik lagi ditujukan pada penyempurnaan struktur
birokrasi dan perubahan perilaku
aparatnya menjadi conditio sine qua non bagi upaya
peningkatan kinerja birokasi pemerintah. Siagian (1983) melihat pentingnya arah
reformasi administrasi di Indonesia lebih ditujukan kepada pengembangan
administrative infrastructure yang meliputi pengembangan aparat birokrasi,
struktur organisasi, sistem dan prosedur kerja. Sedangkan menurut Tjokroamidjojo
(1985) ketika menganalisis administrasi pembangunan di Indonesia menegaskan
bahwa arah reformasi birokrasi perlu ditujukan ke tujuh wilayah penyempurnaan
administrasi yaitu: penyempurnaan dalam
bidang pembiayaan pembangunan; penyempurnaan dalam bidang penyusunan program-program
pembangunan di berbagai bidang ekonomi dan non-ekonomi dengan pendekatan
integrative (integrative approach); re-orientasi kepegawaian negeri kearah
produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah; penyempurnaan administrasi untuk
mendukung pembangunan daerah; administratif partisipatif yang mendorong
kemampuan dan kegairahan masyarakat; kebijaksanaan administratif dalam rangka
menjaga stabilitas dalam proses pembangunan; dan bersihnya pelaksanaan administrasi
negara (good governance).[3]
5)
Birokrasi Era Reformasi
Publik
mengharapkan bahwa dengan terjadinya
Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut
dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur,
kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi
begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi
yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi
sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang
berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara - Negara maju
tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik ( 1997 )
mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara - Negara yang sedang
berkembang sering kali berbeda dengan realitas sosial
yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.Realitas empirik tersebut berlaku
pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara -
Negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasiyang dihadapi oleh para
reformis di Negara - Negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan
birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh
kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi
sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal dari
pada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat
sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian
fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kecenderungan birokrasi
untuk bermain politik pada masa reformasi,tampaknya belum sepenuhnya dapat
dihilangkan dari kultur birokrasi diIndonesia. Perkembangan birokrasi
kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi
sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak - tidaknya
memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam
proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis,
dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi
kepentingan - kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat
pula kecenderungandari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan
strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan
melakukan tindak KKN.
6)
Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi harus merupakan bagian dari
reformasi sistem dan proses, administrasi negara. Dalam konteks (SANKRI),
reformasi administrasi negara dan birokrasi di dalamnya pada hakikinya
merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi.
Dalam hubungan itu, reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas tuntutan
akan tegaknya aparatur pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna,
bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan dan dukungan
sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good governance, dan sumber daya manusia
aparatur negara (pejabat politik, dan karier) yang memiliki integritas,
kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik
dalam jajaran eksekuti, legislatif, maupun yudikatif. Selain dari unsur
aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan good governance dibutuhkan juga
komitmen dan konsistemsi dari semua pihak, aparatur negara, dunia usaha, dan
masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut adanya koordinasi yang baik,
juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi.
Dalam rangka itu, diperlukan pula perubahan perilaku yang sesuai dengan
dimensi-dimensi nilai SANKRI, "penegakan hukum yang efektif” (effective
law enforcement), serta pengembangan dan penerapan sistem dan
pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan
berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.
Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada
posisi dan misi atau perannya yang sebenamya selaku “pelayan publik” (public servant), diperlukan kemampuan
dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan langkah-langkah reformasi
birokrasi yang mencakup perubahan perilaku yang mengedepankan “netralitas,
professionalitas, demokratis, transparan, dan mandiri”, disertai perbaikan
semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama dalam pengelolaan kebijakan
dan pemberian pelayanan publik, serta komitmen dan pemberdayaan akuntabilitas
instansi pemerintah. Untuk memperbaiki cara kerja birokrasi diperlukan
birokrasi yang berorientasi pada hasil. Di sinilah peran akuntabilitas dalam
menyatukan persepsi anggota organisasi yang beragam sehingga menjadi kekuatan
bersama untuk mencapai kemajuan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI.
Selanjutnya, diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dan kompetensi
terhadap reformasi administrasi negara secara tepat, termasuk dalam penyusunan
agenda dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan
pada kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa. Dalam
rangka itu, diperlukan pula reformasi struktural, seperti independensi sistem
peradilan dan sistem keuangan negara, disertai upaya peningkatan transparansi
dan akuntabilitasnya kepada publik. Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda
dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi kepada pelakunya (law enforcement). Di samping itu perlu
dilakukan kampanye kepada masyarakat agar korupsi dipandang sebagai penyakit
sosial, tindakan kriminal yang merupakan musuh publik. Pers sebagai kontrol
sosial harus diberi kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkap dan
memberitakan tindak korupsi. Pengembangan budaya maIu harus disertai dengan upaya menumbuhkan budaya
bersalah individu dalam dirinya (quilty
feeling).
Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan
korupsi adalah suatu keranka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur
tangan politik. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan dan
intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat
menjadi syarat pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan
yang independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan yang
efektif.[4]
BAB IV
KESIMPULAN
Perilaku birokrasi yang saat ini ditampilkan oleh aparatur pemerintah hanya
dapat diubah dengan melakukan pembenahan terhadap perilaku PNS, dalam hal ini
menyangkut etika dan moralnya serta perbaikan lingkungan birokrasi Indonesia.
PNS harus dapat melihat situasi saat ini sebagai masa transisi, bukan keadaan
yang permanen. Dengan tetap menjaga semangat korps PNS, maka PNS diharapkan
akan mampu melakukan terobosan dalam pelayanan masyarakat.
Selain itu, PNS harus mengambil jarak
dari politik dan fokus kepada tugasnya sebagai unsur aparatur negara, abdi
negara, dan abdi masyarakat. PNS harus yakin bahwa posisinya adalah sebagai abdi
negara dan abdi masyarakat, bukan abdi dari partai politik. PNS sebagai pelayan
masyarakat tidak mungkin bersifat netral apabila tunduk kepada partai politik. Etika
dan moral PNS merupakan pondasi bagi PNS yang berkualitas. Tidak mungkin dihasilkan
suatu perilaku birokrasi yang ideal sesuai dengan tujuan dari pembentukan PNS
tanpa memperhatikan masalah etika dan
moral PNS. Untuk itu, pembenahan etika
dan moral perlu mendapatkan prioritas utama dalam reformasi birokrasi. Dibutuhkan suatu kepemimpinan yang kuat dan
reformasi kelembagaan agar agenda mentalitas PNS yang ideal sebagai abdi negara
dan abdi masyarakat dapat terwujud. Semoga !!!
Dan terakhir. kita sebagai mahasiswa hanya mampu mengkritisi tentang apa
yang terjadi di pemerintahan RI ini, semoga pada Lembaga Birokrasi Di Indonesia
bisa berbenah diri (Intropeksi) dan sadar apa yang telah dilakukan sudah
maksimal ?. Mana kala masyarakat menanti-nanti apa yang mereka harapkan adalah
hidup sejahtera dan aman.
Terima Kasih..
Wassalamu’alaikum Wr.Wb..
DAFTAR PUSTAKA
www.wikipedia.com, Pengertian Birokrasi menurut
beberapa ahli.
*Kumpulan
artikel politik. 2011
Agung, Anak
Agung Gde Putra,2001, Peralihan Sistem
Birokrasi dari
Tradisional ke
Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Laporan
Penelitian, Perkembangan Sejarah Birokrasi di Indonesia,Agus Suryono PENDEKATAN KULTURAL DAN STRUKTURAL DALAM REALITAS
BIROKRASI DI INDONESIA, 2011.
Oleh: Prof. Dr. Mustopadidjaja. DISAMPAIKAN
PADA ACARA SEMINAR DAN LOKAKARYA PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL VIII YANG
DISELENGGARAKAN OLEH BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN
HAM, Denpasar, 15 Juli 2003.
www.space.com Peraturan Pemerintah Nomor 42
tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.
www.google.com Wiyanto, Agus, dkk. 2002, Era
Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan
dan Kebijakan UGM.
*Kumpulan
artikel politik.
Tradisional ke
Kolonial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
3 Perkembangan Sejarah Birokrasi
di Indonesia,Agus suryono PENDEKATAN
KULTURAL DAN STRUKTURAL
DALAM
REALITAS BIROKRASI DI INDONESIA, 2011.
DALAM
REALITAS BIROKRASI DI INDONESIA, 2011.
SEBAGAI SYARAT
PEMBERANTASAN KKN,
Oleh: Prof. Dr. Mustopadidjaja.
DISAMPAIKAN
PADA ACARA SEMINAR DAN LOKAKARYA
PEMBANGUNAN
HUKUM NASIONAL VIII
YANG
DISELENGGARAKAN OLEH BADAN PEMBINAAN HUKUM
NASIONAL
DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN HAM, Denpasar, 15 Juli 2003